Senin, 23 Februari 2009

Wasiat Sebelum Tidur

"Ali berkata: Fathimah mengeluhkan alat penggiling yang dialaminya. Lalu pada saat itu ada seorang tawanan yang mendatangai Nabi. Maka Fathimah pergi ke rumah Nabi, namun tidak bertemu dengan beliau. Dia mendapatkan Aisyah. Lalu dia mengabarkan kepadanya. Tatkala Nabi tiba, Aisyah mengabarkan kedatangan Fathimah kepada beliau. Lalu beliau mendatangi kami, yang kala itu kami hendak berangkat tidur. Lalu aku siap berdiri, namun beliau berkata: 'Tetaplah di tempatmu'. Lalu beliau duduk di tengah kami, sehingga aku bisa merasakan dinginnya kedua telapak kaki beliau di dadaku. Beliau berkata: 'Ketahuilah, akan kuajarkan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada apa yang engkau minta kepadaku. Apabila engkau hendak tidur, maka bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali, dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, maka itu lebih baik bagimu daripada seorang pembantu". [Hadits Shahih, riwayat Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ahmad, Al-Baihaqy]

Wahai Ukhti Muslimah!
Inilah wasiat Nabi bagi putrinya yang suci, Fathimah, seorang pemuka para wanita penghuni surga. Maka marilah kita mempelajari apa yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat kita dari wasiat ini.

Fathimah merasa lelah karena banyaknya pekerjaan yang harus ditanganinya, berupa pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, terutama pengaruh alat penggiling. Maka dia pun pergi menemui Rasulullah untuk meminta seorang pembantu, yakni seorang wanita yang bisa membantunya.

Tatkala Fathimah memasuki rumah Nabi, dia tidak mendapatkan beliau. Dia hanya mendapatkan Aisyah (Ummul Mukminin). Lalu Fathimah menyebutkan keperluannya kepada Aisyah. Tatkala beliau tiba, Aisyah mengabarkan urusan Fathimah.

Beliau mempertimbangkan permintaan Fathimah. Dan memang beliau mempunyai beberapa orang tawanan perang, ada pula dari kaum wanitanya. Tetapi tawanan-tawanan ini akan dijual, dan hasilnya akan disalurkan kepada orang-orang Muslim yang fakir, yang tidak mempunyai tempat tinggal dan makanan kecuali dari apa yang diberikan Rasulullah. Lalu beliau pergi ke rumah Ali, suami Fathimah, yang saat itu keduanya siap hendak tidur. Beliau masuk rumah Ali dan Fathimah setelah meminta izin dari keduanya. Tatkala beliau masuk, keduanya bermaksud hendak berdiri, namun beliau berkata: "Tetaplah engkau di tempatmu". "Telah dikabarkan kepadaku bahwa engkau datang untuk meminta. Lalu apakah keperluanmu?".

Fathimah menjawab:"Ada kabar yang kudengar bahwa beberapa pembantu telah datang kepada engkau. Maka aku ingin agar engkau memberiku seorang pembantu untuk membantuku membuat roti dan adonannya. Karena hal ini sangat berat bagiku".

Beliau berkata: "Mengapa engkau tidak datang meminta yang lebih engkau sukai atau lebih baik dari hal itu?". Kemudian beliau memberi isyarat kepada keduanya, bahwa jika keduanya hendak tidur, hendaklah bertasbih kepada Allah, bertakbir, dan bertahmid dengan bilangan tertentu yang disebutkan kepada keduanya. Lalu akhirnya beliau berkata. "Itu lebih baik bagimu daripada seorang pembantu".

Boleh jadi engkau bertanya-tanya apa hubungan antara pembantu yang diminta Fathimah dan dzikir? Orang yang banyak dzikir sebelum berangkat tidur, tidak akan merasa letih. Sebab Fathimah mengeluh letih karena bekerja. Lalu beliau mengajarkan dzikir itu. Begitulah yang disimpulkan Ibnu Taimiyah. Ibnul Qayyim mengisahkan tentang gurunya (Ibnu Taimiyyah, wafat 728 H) bahwa beliau sangat memperhatikan dzikir-dzikir sebelum tidur, dan beliau pun jarang kelelahan. Beliau dapat menulis satu kitab dalam satu hari, padahal kitab tersebut diselesaikan juru tulis pada zaman itu selama satu minggu, dan tulisan beliau sangat bagus. Sampai sekarangpun masih kita dapatkan kitab-kitab beliau sangat banyak.

Begitulah wahai Ukhti Muslimah, wasiat Nabi yang disampaikan kepada salah seorang pemimpin penghuni surga, Fathimah, yaitu berupa kesabaran yang baik. Perhatikanlah bagaimana seorang putri Nabi dan istri seorang shahabat yang mulia, harus menggiling, membuat adonan roti, dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Maka mengapa engkau tidak menirunya?

Maraji’: Al-Khamsuna Wasyiyyah Min Washaya Ar-Rasul j Lin Nisa, Edisi Indonesia: Lima Puluh Wasiat Rasulullah j Bagi Wanita, Pengarang Majdi As-Sayyid Ibrahim

Hikmah Dimasukkannya Kuburan Rasulullah ke Dalam Masjid

Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz:

Telah diriwayatkan dari Rasulullah j, bahwa beliau besabda: “Allah melaknat kaum Yahudi dan kaum Nashrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para Nabi mereka sebagai masjid.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Dan telah diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Ummu Salamah dan Ummu Habibah menceritakan kepada Rasulullah j tentang suatu gereja yang pernah mereka lihat di negeri Habasyah termasuk gambar-gambar yang ada di dalamnya, lalu Rasulullah j bersabda: “Mereka adalah kaum yang apabila seorang hamba yang shalih di antara mereka meninggal atau seorang laki-laki yang shalih, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuat gambar-gambar itu di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah” [HR. Bukhari dan Muslim]

Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, dari Jundab bin Abdillah Al-Bajali, ia berkata, aku mendengar Rasulullah j bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikanku sebagai kekasih sebagaimana Ia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih. Seandainya aku (dibolehkan) mengambil kekasih dari antara umatku, tentu aku mejadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan - kuburan para Nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid-masjid. Ingatlah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid, sesungguhnya aku melarang kalian melakukan itu.” [HR. Muslim]

Diriwayatkan oleh Imam Muslim juga, dari Jabir d, ia berkata: ”Rasulullah j melarang menghiasi kuburan dan duduk-duduk di atasnya serta membuat bangunan di atasnya.” [HR. Muslim]. Hadits-hadits shahih ini, dan hadits-hadits lain yang semakna menunjukkan haramnya membuat masjid di atas kuburan dan terlaknatnya orang yang melakukannya, serta haramnya membuat kubah-kubah dan bangunan di atas kuburan, karena hal itu merupakan faktor-faktor kesyirikan dan penyembahan terhadap para penghuninya, sebagaimana yang pernah terjadi dahulu dan sekarang. Maka yang wajib atas kaum muslimin di mana saja adalah waspada terhadap apa yang telah dilarang oleh Rasulullah j, jangan sampai terperdaya oleh perbuatan orang lain, karena kebenaran adalah ketika menemukan kesesatan seorang mukmin, maka hendaklah menuntunnya, dan kebenaran itu dapat diketahui dengan dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah, bukan berdasarkan pendapat dan perbuatan manusia.

Rasulullah j dan kedua sahabatnya tidak dikubur di dalam masjid, akan tetapi di kubur di rumah Aisyah, namun ketika perluasan masjid pada masa Al-Walid bin Abdul Malik di akhir abad pertama hijriyah, rumah tersebut dimasukkan ke dalam masjid (termasuk dalam wilayah perluasan masjid). Demikian ini tidak dianggap mengubur di dalam masjid, karena Rasulullah j dan kedua sahabatnya tidak dipindahkan ke tanah masjid, tetapi hanya memasukkan rumah Aisyah, tempat mereka di kubur, ke dalam masjid untuk perluasan.

Jadi hal ini tidak bisa dijadikan alasan oleh siapapun untuk membolehkan membuat bangunan di atas kuburan atau membangun masjid di atasnya atau menguburkan mayat di dalam masjid, karena adanya hadits-hadits yang melarang hal tersebut, sebagaimana yang telah saya sebutkan tadi. Apa yang dilakukan oleh Al-Walid dalam hal ini tidak berarti menyelisihi sunnah yang telah pasti dari Rasulullah j.
Hanya Allah lah yang mampu memberi petunjuk.

Hukum Shalat di Masjid yang Ada Kuburannya

Jawaban Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin:

Jika masjid tersebut dibangun di atas kuburan, maka shalat di situ hukumnya haram, dan itu harus dihancurkan, sebab Nabi j telah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para Nabi mereka sebagai masjid-masjid, hal ini sebagai peringatan terhadap apa yang mereka perbuat.

Jika masjid itu telah dibangun lebih dulu daripada kuburannya, maka kuburan itu wajib dikeluarkan dari masjid, lalu dikuburkan di pekuburan umum, dan tidak ada dosa bagi kita dalam situasi seperti ini ketika membongkar kuburan tersebut, karena mayat tersebut dikubur di tempat yang tidak semestinya, sebab masjid-masjid itu tidak halal untuk menguburkan mayat.

Shalat di masjid (yang ada kuburannya) yang dibangun lebih dulu daripada kuburannya hukumnya sah dengan syarat kuburan tersebut tidak berada di arah kiblat sehingga seolah-olah orang shalat ke arahnya, karena Nabi j melarang shalat menghadap kuburan. Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian duduk-duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya” [HR Muslim] . Jika tidak mungkin membongkar kuburan tersebut, maka bisa dengan menghancurkan pagar masjidnya.

Hukum Shalat di Masjid yang di Dalamnya Ada Kuburannya atau di Halamannya atau di Arah Kiblatnya

Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz :

Jika di dalam masjid tersebut terdapat kuburan, maka tidak sah shalat di dalamnya. Baik kuburan tersebut di belakang orang-orang shalat maupun di depan mereka, baik di sebelah kanan maupun di sebelah kiri mereka, hal ini berdasarkan sabda Nabi j: “Allah melaknat kaum Yahudi dan kaum Nashrani karena mereka menjadikan kuburan - kuburan para Nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah” [Al-Bukhari dan Muslim]

Dan berdasarkan sabda Nabi j: “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan– kuburan para Nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai tempat ibadah. Ketahuilah, maka janganlah kamu menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), sesungguhnya aku melarang kamu dari hal itu” [HR.Muslim]

Lain dari itu, karena shalat di kuburan itu termasuk sarana syirik dan sikap berlebihan terhadap penghuni kubur, maka kita wajib melarang hal tersebut, sebagai pengamalan terhadap hadits tersebut di atas dan hadits-hadits lainnya yang semakna, serta untuk menutup pintu penyebab syirik.

Sabtu, 21 Februari 2009

SYirik, Noda yang Paling Membandel

Gimana kabarnya shohibudin semua? Bulan yang penuh barokah telah kita tinggalkan, lalu apakah yang masih bisa kita kerjakan dengan semangat yang sama dengan semangat di waktu bulan tersebut? Insyaallah kita masih dapat bertauhid kepada Rabb Semesta Alam Yang Menguasai Kerajaan Langit dan Bumi. Lalu bagaimana cara kita membentengi diri dengan tauhid murni? Salah satu caranya adalah dengan mengenal dahulu lawannya, yaitu syirik. Telah dimaklumi bahwa sesuatu akan lebih mudah dikenali dengan memahami lawannya.

Secara mutlak syirik kepada Allah tergolong keharaman terbesar. Sandarannya berupa hadits dari Abu Bakrah, yang menuturkan bahwa Rasulullah bersabda: “Maukah kukabarkan kepada kalian dosa yang paling besar? (tiga kali). Mereka berkata: ‘Kami menjawab: ’Ya wahai Rasulullah!’ Beliau berkata: ’Menyekutukan Allah’ ” [HR. Bukhari dan Muslim].

Tiap dosa dan kesalahan sangat mungkin diampuni Allah, terkecuali syirik. Karenanya untuk meraih ampunan dosa ini harus ditempuh dengan metode khusus.
•          
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [An-Nisa’: 48]

Sembah Kubur
Merebaknya keyakinan bahwa para wali yang telah mati memiliki kemampuan untuk memenuhi hajat, membantu menghilangkan kesempitan hidup, dan tempat mohon pertolongan.

Kalau kita cermati lebih lanjut keyakinan macam ini berseberangan dengan firman Allah yang menegaskan: “Dan Rabbmu telah memerintahkanmu supaya kamu tidak beribadah kecuali hanya kepadaNya.” [Al-Israa’: 23]

Begitu halnya dengan permohonan do’a kepada para nabi dan orang sholih atau lainnya yang telah mati untuk dimintai pertolongan, atau agar terbebas dari segala keruwetan.
Allah menyatakan dalam firmanNya:“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang berada dalam kesulitan apabila engkau sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada (tuhan) yang lain?” [An-Naml: 62]

Sementara orang mengitari kuburan, memeluk batu nisan serta mengelus-elusnya, mencium ambang pintu, melumuri wajah dengan debu kuburan, dan bersujud kepadanya. Jika melihat makam, berhenti dengan penuh kekhusyukan dan kepasrahan, memohon terkabulnya permintaan dan hajat, seperti kesembuhan dari penyakit, memperoleh keturunan, kemudahan dalam urusan, atau bahkan menyeru kepada penghuni kubur untuk dikabulkan segala maksudnya. Allah berfirman:“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada mampu memperkenankan doanya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka” [Al-Ahqaf: 5]

Bernadzar untuk selain Allah juga merupakan bentuk kesyirikan, seperti halnya orang-orang yang bernadzar dengan menyalakan lilin ataupun pelita bagi penghuni kubur.
Di antara fenomena-fenomena yang ada adalah melakukan penyembelihan untuk para penghuni kubur, padahal dilansir dalam sebuah ayat:“Dan dirikanlah sholat karena Rabbmu, dan berkurbanlah!” [Al-Kautsar: 2]

Secara tegas ayat menyatakan: “Berkurbanlah untuk dan atas nama Allah.”
Sementara itu Nabi bersabda: ”Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selainNya.” [HR. Muslim]
Sebab yang mendasari larangan tersebut berupa dua kandungan keharamannya, yaitu menyembelih untuk selain Allah dan menyembelih atas nama selainNya.
Kedua sebab ini pula yang menjadi penghalang memakan sesembelihan yang dilakukan.

Sembah ‘Ulama?
Merupakan wujud kesyirikan (akbar) besar adalah menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah dan mengharamkan segala hal yang dihalalkanNya. Atau berkeyakinan ada seseorang yang memiliki wewenang dalam menetapkan halal dan haram selain Allah.
Allah berfirman:“Mereka menjadikan orang-orang ‘alimnya dan para rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” [At-Taubah: 31]

Manakala ‘Adi bin Hatim mendengar ayat ini, ia pun berujar: ’Sesungguhnya mereka tidak menyembah para rahib itu!’
Kemudian Rasulullah menanggapi ucapannya dengan berkata: ’Benar, tetapi para rahib itu menghalalkan bagi mereka apa yang diharamkan Allah, dan orang-orang menganggapnya halal. Mereka juga mengharamkan untuk merka apa yang dihalalkan Allah, lalu (para pengikutnya) mengharamkannya. Demikianlah bentuk penyembahan mereka kepada para rahib (itu)’ [HR. Baihaqi]

Begitupun dengan kondisi umat Islam, ketika seorang figur berani mengatakan haram dan haram tanpa dasar syari’at, merekapun mengikutinya dengan berkata: ‘Fulan telah mengharamkan hal ini dan membolehkan itu’. Maka ini pula tak jauh beda dengan keadaan umat yang disinyalir oleh hadits tersebut.

Ramalan Bintang
Fenomena yang mewabah adalah kuatnya keyakinan akan adanya pengaruh perbintangan terhadap kehidupan, rizki, jodoh, dan lainnya. Dilansir dalam sebuah riwayat, suatu ketika Rasulullah dan para sahabatnya usai menunaikan sholat Shubuh, bertepatan dengan itu muncul semburat warna di ujung malam. Maka Rasulullah berbalik dan menghadap ke arah para sahabatnya seraya mengatakan:“Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Rabb kalian? Mereka menjawab: ‘Allah dan RasulNya lebih mengetahui.’ Nabi bersabda: ‘Dia berfirman: Pagi ini di antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman dan kufur kepada-Ku. Adapun orang yang mengatakan: ‘Telah turun hujan kepada kita berkat karunia dan rahmat Allah, berarti dia beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang. Sedangkan orang yang mengatakan: ‘Telah turun hujan kepada kita karena bintang ini tau bintang itu’ Maka dia kufur kepada-Ku dan percaya kepada bintang.” [HR. Bukhari]

Masuk dalam kategori ini adalah bergantung pada ramalan nasib di surat kabar, tabloid, maupun media lain. Siapapun yang mempercayai pengaruh ramalan perbintangan dan astronomi yang termuat, dia seorang musyrik. Jika hanya sekedar membaca dalam rangka menghibur diri maka dia telah berbuat maksiat yang berhak mendapat dosa, karena tidak diperbolehkan menghibur diri dengan membaca hal-hal haram terlebih sesuatu yang bermuatan syirik.

Syirik Kecil
Terjaganya kemurnian ibadah dari riya’ merupakan syarat terciptanya amal shalih yang terikat kuat dengan sunnah.
Jika pelaksanaan ibadah karena tendensi agar dilihat orang lain, masuk dalam kriteria riya’, Allah menegaskan dalam firmanNya:“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka menegakkan sholat, mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya’ di hadapan manusiia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” [An-Nisa’: 142]

Pun masuk dalam cakupan ini adalah melakukan amalan agar didengar dan dibicarakan orang banyak. Orang-orang model ini telah terjebak dalam kubangan syirik. Rasulullah telah bersabda :“Barang siapa berupaya agar didengar niscaya Allah juga akan memperdengarkan kejelekannya. Dan barangsiapa berbuat riya’ niscaya Allah juga akan membalasnya dengan perlakuan riya.” [HR. Muslim]
Bahkan riya’ memiliki bahaya yang teramat besar, hingga berimbas tercabutnya amalan yang dikerjakan seseorang.

Rasulullah menyatakannya dalam sebuah hadits qudsi:“Akulah Dzat yang paling tak butuh kepada persekutuan, Barang siapa melakukan suatu amalan, sedang di dalamnya dia menyekutukanKu dengan selainKu, maka aku tinggalkan dia dan persekutuannya.” [HR. Muslim].

Orang yang memulai suatu amalan karena Allah, kemudian terjangkiti riya’, bila dia menyikapinya dengan kebencian dan berupaya keras untuk menepis serta memeranginya, maka benarlah amalnya. Sebaliknya, jika dia tidak berusaha menepis serta memeranginya tetapi malah menikmati riya’nya tersebut, maka mayoritas ulama menetapkan kesia-siaan amalan yang dilakukannya.


Bersandar dengan Keburukan

Syahdan, orang Arab jika akan melakukan aktivitas tertentu, seperti bepergian mereka memegang ekor burung kemudian melepaskannya. Jika burung tersebut terbang kearah kanan, maka merasa optimis dan meneruskan pekerjaan. Apabila burung tersebut terbang kearah kiri, dia berhenti dan merasa pesimis dengan tindakan yang akan dilakukan. Kalau kita telusuri kebiasaan model ini, sangat bertentangan dengan apa yang diungkapkan Rasulullah: “Meramal dengan sebuah keburukan adalah syirik.” [HR.Ahmad]

Masuk dalam cakupan ini adalah berpantangan dengan bulan atau hari-hari tertentu. Juga dengan tempat, waktu, serta angka khusus, seperti meyakini bahwa angka 13 adalah angka pembawa sial.
Karakter meramal dengan keburukan model tersebut sangatlah tercela, yang keberadaannya dibenci Rasulullah:“Bukan termasuk golongan kami, orang yang meramal dengan suatu keburukan dan minta diramal, orang yang melakukan perdukunan dan yang minta perdukunan.” [HR. Ath Thabraniy]
Memang, pesimisme merupakan tabiat jiwa, yang terkadang mengalami pasang surut.
Langkah penyembuhannya adalah dengan bertawakal kepada Allah.

Seperti ungkapan yang dituturkan oleh Ibn Mas’ud:“Tidaklah dari kami mendapati sesuatu berupa pesimisme, melainkan Allah melenyapkannya dengan tawakal.” [HR. Abu Dawud]

Bersumpah dengan SelainNya
Telah menjadi kelumrahan dan biasa terjadi adalah melontarkan sumpah dengan selain Allah. Padahal sumpah adalah satu bentuk pengagungan, yang hanya layak ditujukan kepada Allah. Sebuah sumber meriwayatkan:“Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, berarti telah syirik.” [HR. Ahmad]

Walhasil, bersumpah dengan ka’bah, kemuliaan, barakah si fulan, keagungan Nabi, wali ataupun bapak-ibu serta benda-benda lain haram hukumnya. Orang yang melakukannya dikenai kafarah (tebusan) dengan mengucapkan Laa ilaha illallah, sebagaimana konteks perintah hadits:“Barangsiapa bersumpah, kemudian mengatakan dalam sumpahnya, demi Latta dan ‘Uzza. Maka hendaklah (ia) mengucapkan kalimat Laa ilaha illallah.” [HR. Bukhari]

Senada pula dengan bahasan ini adalah deretan ucapan yang bernada mengumpat zaman, seperti zaman sial, zaman sulit, zaman pengecut dan lainnya.
“Janganlah kalian mencela masa, maka sesungguhnya Allah yang menguasai masa.” [HR. Muslim].

Termasuk hal-hal haram lain adalah menjuluki manusia dengan ungkapan hakim segala hakim, raja diraja, atau mengucapkan lafadz ‘tuan’ untuk orang-orang kafir atau munafik. Juga mengungkapkan kata-kata ‘seandainya’ sebagai isyarat kemarahan, penyesalan, keluh kesah, dan membuka pintu amalan setan.

Di Mana Allah...? Dia Ada di Atas Langit

Amat mengherankan perkaranya ketika dimunculkan satu pertanyaan i’tiqodiyah (tentang keyakinan): “Di mana Allah?”, kita mendapatkan jawaban yang bermacam-macam dan berbeda-beda dari mulut-mulut kaum muslimin. Ada yang beranggapan bahwa tidak boleh mempertanyakan di mana Allah, tetapi tak sedikit pula yang menjawab: “Allah ada di mana-mana”, lebih ironisnya ada yang mengatakan: “Allah tidak di atas, tidak juga di bawah, tidak di sebelah kanan tidak pula di sebelah kiri, tidak di barat tidak di timur, tidak di selatan tidak juga di utara.”

Para pembaca, sungguh sangat memprihatinkan bila seorang muslim atau banyak muslim tidak mengetahui masalah pokok dalam agamanya ini, tapi apa hendak dikata bila memang realita yang ada menunjukkan demikian, satu fenomena yang cukup mu`sif (menyedihkan) menimpa ummat ini yang dilatarbelakangi dengan jauhnya dari pendidikan ilmu agama yang benar.

Sementara Allah telah berfirman: “Allah menganugrahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al Qur`an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (Al Baqoroh: 269)

“Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az Zumar: 9)

Bagaimana tidak dikatakan hal yang pokok dalam agama, pengetahuan tentang “di mana Allah?” tatkala ternyata Rasulullah j menjadikannya sebagai dalil akan kebenaran iman seseorang.

Di dalam Shohih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan An Nasa`i, dan lainnya dari sahabat Mu’awiyah bin Hakam as Sulami, ia berkata: Aku punya seorang budak yang biasa menggembalakan kambingku ke arah Uhud dan sekitarnya, pada suatu hari aku mengontrolnya, tiba-tiba seekor serigala telah memangsa salah satu darinya -sedang aku ini seorang laki-laki keturunan Adam yang juga sama merasakan kesedihan- maka akupun amat menyayangkannya hingga kemudian akupun menamparnya (menampar budaknya), lalu aku mendatangi Nabi j dan kuceritakan kejadian itu padanya. Beliau membesarkan hal itu padaku, aku pun bertanya: “Wahai Rosulullah apakah aku harus memerdekakannya?” Beliau menjawab: “Panggil dia kemari!” Aku segera memanggilnya, lalu beliau bertanya padanya: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di langit.”. “Siapa aku?”, tanya Rasul. “Engkau Rasulullah (utusan Allah)”, ujarnya. Kemudian Rasulullah berkata padaku: “Merdekakan dia, sesungguhnya dia seorang mu`min.”

Di dalam hadits ini terkandung tiga pelajaran yang sangat signifikan.
Pertama : Nabi j menetapkan keimanan sang budak ketika ia mengetahui bahwa Allah di atas langit.
Kedua : Disyari’atkannya ucapan seorang muslim yang bertanya: “Di mana Allah?”.
Ketiga : Disyari’atkannya bagi orang yang ditanya hal itu agar menjawab: “Di atas langit.”

Sulaiman at Taimi, salah seorang tabi’in mengatakan: “Bila aku ditanya di mana Allah? Aku pasti akan menjawab di atas langit.”

Para pembaca, apa jadinya jika ternyata sebagian kaum yang tahunya sebatas “air barokah” dan orang-orang yang spesialisasinya hanya itu,kemudian apriori untuk menolak bahkan lebih dari itu mengkafirkan orang yang mempertanyakan: “Di mana Allah?”. Ketahuilah bahwa siapa saja yang mengingkari permasalahan ini berarti ia telah mengingkari Rasulullah j, wal ‘iyadzubillah bila kemudian mengkafirkannya.
Jawaban seorang budak dalam hadits di atas sesuai dengan firman Allah Ta’ala: “Apakah engkau merasa aman terhadap Allah yang di langit, bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama engkau… Atau apakah engkau merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu.” (Al Mulk: 16-17).

Tidaklah mengherankan bila kemudian penetapan bahwa Dzat Allah di atas langit menjadi keyakinan para imam yang empat.

Imam Abu Hanifah (seorang alim dari negeri Iraq) berkata: “Barangsiapa yang mengingkari Allah ‘Azza wa Jalla di langit maka ia telah kufur!”

Imam Malik (imam Darul Hijroh) mengatakan: “Allah di atas langit, sedang ilmuNya (pengetahuanNya) di setiap tempat, tidak akan luput sesuatu darinya.”

Muhammad bin Idris yang lebih dikenal dengan sebutan Imam asy Syafi’i berkata: “Berbicara tentang sunnah yang menjadi peganganku dan para ahli hadits yang saya lihat dan ambil ilmunya seperti Sufyan, Malik, dan selain keduanya, adalah berikrar bahwa tidak ada ilah (yang berhak untuk diibadahi secara benar) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu di atas ‘arsy di langit…”

Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal: “Apakah Allah di atas langit yang ke tujuh di atas ‘arsyNya jauh dari makhlukNya, sedangkan kekuasaanNya dan pengetahuanNya di setiap tempat?” Beliau menjawab, “Ya, Dia di atas ‘arsy-Nya tidak akan luput sesuatupun darinya.”

Aqidah yang agung ini telah tertanam dalam dada-dada kaum muslimin periode pertama, para salafus shalih ahlussunnah wal jama’ah. Berkata Imam Qutaibah bin Sa’id (wafat: 240 H): “Ini adalah pendapat / ucapan para imam-imam Islam, sunnah, dan jama’ah, bahwa kita mengenal Rabb kita di atas langit yang ke tujuh di atas ‘arsyNya.” Sehingga semakin jelaslah bahwa Allah di atas langit sebagai ijma’ ahlissunnah wal jama’ah yang berlandaskan Kitab, Sunnah, akal, dan fitrah.

Allah berfirman: “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi.” (As Sajdah: 5)
“Kepada-Nyalah naik perkataan yang baik dan amal shalih yang dinaikkan-Nya.” (Fathir: 10)

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepadaNya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (Al Ma’arij: 4)
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit…” (Al Mulk: 16-17)
“Sucikanlah nama Rabbmu yang Maha Tinggi.” (Al A’laa: 1)

Dan ayat-ayat lainnya teramat banyak untuk disebutkan sampai-sampai sebagian besar kalangan madzhab Syafi’i mengatakan: “Di dalam Al Qur`an terdapat seribu dalil atau bahkan lebih menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tinggi di atas makhlukNya.”.

Di dalam Shohih Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Bakroh d bahwa ketika Rasulullah j berkhutbah di hadapan manusia pada hari Arafah, beliau berkata: “Ya Allah, saksikanlah” (seraya mengangkat jari telunjuknya ke arah langit).

Semua orang yang berakal akan menetapkan bahwa ketinggian adalah sifat sempurna sedangkan kebalikannya adalah sifat kekurangan, sementara Allah ‘Azza wa Jalla tersucikan dari hal-hal yang bersifat kekurangan, ini semua menunjukkan bahwa Dzat Allah di atas langit adalah suatu kesempurnaan bagiNya. Demikian pula secara fitrah, semua kaum muslimin di belahan dunia apabila berdo’a mengangkat kedua tangannya ke langit, tak didapatkan seorang pun dari mereka apabila mengatakan, “Ya Allah, ampunilah dosaku” mengarahkan kedua tangannya ke tanah -selama-lamanya!!- menunjukkan secara fitrah, semua manusia menetapkan bahwa Dzat Allah di atas langit.

Para pembaca, perjalanan waktu yang cukup lama aqidah Islam ini tak lagi dikenal dan diketahui mayoritas umat Islam, seakan-akan sirna dari sumbernya, malah sebaliknya faham-faham Jahmiyah, Asy’ariyah, Mu’tazilah, dan ahli kalam yang merajalela bak wabah penyakit yang menular. Kalangan anak-anak, remaja, dan para orang tua, bahkan sang ustadz atau kyai dan guru ngaji bila ditanya: “Di mana Allah?” serempak menjawab: “Allah ada di mana-mana.” Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Sebagian yang dinisbatkan kepada ilmu berdalil atas pernyataannya itu dengan firman Allah: “Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada.” (Al Hadid: 4)

Memang menjadi ciri khas ahli bathil adalah “seenaknya mengambil dalil tetapi buruk ketika berdalil”. Ketahuilah bahwa ayat itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah ada di mana-mana, sebab bila difahami demikian, maka tentu ketika seseorang berada di masjid Allah ada di situ, ketika di pasar Allah juga ada di situ, bahkan tatkala seseorang berada di tempat kotor sekalipun, seperti WC, maka Allah pun ada di situ! Maha tinggi Allah atas pernyataan-pernyataan ini.

Kebersamaan Allah

Tetapi maksud dari ayat itu “Dia bersamamu…” ialah ilmu-Nya, pengawasan-Nya, penjagaan-Nya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas ‘arsy di langit.
Imam Sufyan ats Tsaury (wafat: 161 H) pernah ditanya tentang ayat ini “Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada.” Beliau menjawab: “yakni ilmu-Nya.”

Hanbal bin Ishaq berkata: Abu Abdillah (Imam Ahmad) ditanya apa makna “Dan Dia bersamamu?”. Beliau menjawab: “Yakni ilmu-Nya, ilmu-Nya meliputi segala hal sedangkan Rabb kita di atas ‘arsy…”

Imam Nu’aim bin Hammad (wafat: 228 H) ditanya tentang firman Allah “Dan Dia bersamamu”. Beliau berkata: “Maknanya tidak ada sesuatupun yang luput darinya, dengan ilmu-Nya.”

Ketika Imam Abu Hanifah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala di langit tidak di bumi”, ada yang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman, ‘Dia (Allah) bersamamu?’ ”. Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang ‘Saya akan selalu bersamamu’ padahal kamu jauh darinya.”

Para pembaca rahimakallah (semoga Allah merahmati engkau), sudah saatnya kita tanamkan kembali aqidah yang murni warisan Nabi dan para salafus shalih ini di dalam jiwa-jiwa generasi Islam kini dan mendatang. Sungguh keindahan, ketentraman mewarnai anak-anak kita dan para orang tua saat kita tanyai: “Di mana Allah?” lalu mereka mengarahkan jari telunjuknya ke atas dan berucap: “Allah di langit.”
Wallahul haadi ila sabilir rosyaad. Wal ‘ilmu ‘indallah.

Maraji’: Buletin Al Wala’ wal Bara’ Edisi ke-42 Tahun ke-1 / 03 Oktober 2003 M / 06 Sya’ban 1424 H.

Arti Sebuah Kejujuran

Para pembaca, setiap yang menabur biji kebaikan pasti ia akan menuai kebaikan dan demikian pula setiap yang menabur biji kejelekan pasti ia akan menuai kejelekan pula. Ini merupakan sunnatullah (ketetapan Allah Ta’ala) yang sejalan dengan fitrah yang suci.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah j bersabda: “Sesungguhnya kejujuran itu akan mengantarkan kepada jalan kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan mengantarkan ke dalam al jannah (surga), sesungguhnya orang yang benar-benar jujur akan dicacat di sisi Allah sebagai ash shidiq (orang yang jujur). Dan sesungguhnya orang yang dusta akan mengantarkan ke jalan kejelekan, dan sesungguhnya kejelekan itu akan mengantarkan kedalam an naar (neraka), sesungguhnya orang yang benar-benar dusta akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits di atas menunjukkan bahwa jujur merupakan amalan yang amat terpuji. Dari sebuah kejujuran akan tegak kebenaran, keadilan, dan sekian banyak kebaikan di baliknya. Hati akan menjadi tenang dan tentram. Karena orang yang jujur itu tidak mengurangi atau menzhalimi hak orang lain. Sehingga semakin menambah kepercayaan dari orang lain.

Cobalah perhatikan, bila seseorang berkata atau bertindak jujur, maka orang lain akan merasa dirinya dihormati, diperlakukan adil, tidak dizhalimi, atau tidak dikhianati. Sehingga menumbuhkan rasa saling percaya, menambah rajutan ukhuwah (persaudaran), dan mahabbah (kasih sayang). Namun sebaliknya, dari ketidakjujuran akan menyebabkan terjatuh dalam perbuatan zhalim, curang, atau berdusta kepada orang lain. Yang berakibat memudarnya sikap saling percaya, bahkan akan timbul kedengkian, permusuhan, dan sikap jelek lainnya.

Di antara dampak dari perbutan jujur adalah:
1. Mendapat barakah dari Allah Ta’ala.
2. Jujur sebagai sebab akan diperbaiki dan diterima amalan-amalan lainnya oleh Allah Ta’ala.
3. Jujur sebagai sebab datangnya maghfirah (ampunan) Allah Ta’ala
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (jujur), niscaya Allah akan memperbaiki amalan-amalanmu dan akan mengampuni dosa-dosamu, …” (Al Ahzab: 70-71)
4. Mendapat pahala yang besar.
Allah Ta’ala berfirman: “(Sesungguhnya), … laki-laki dan perempuan yang benar (jujur), … maka Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab: 35)

Akhir kata, semoga kajian yang ringkas ini sebagai koreksi bagi kita semua. Tiada seorang pun yang bersih dari noda dosa dan kesalahan. Namun seyogyanya kita selalu berusaha untuk berjalan di atas prinsip kejujuran, bila ada kelalain dari kita, hendaknya segera kita bertaubat kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala menggolongkan kita termasuk hamba-hambanya yang jujur. Amien, ya Rabbal ‘alamin.